Dimanakah Batas “Amati-Tiru-Modifikasi” dan Plagiarisme?
Diskurus plagiarisme dan peniruan sudah ada sejak manusia menciptakan barang. Ciptaan dan pencipta merupakan sebuah hubungan yang bagai hubungan orang tua dengan anak, kekal dan tak akan terputus. Tentunya dalam saat ada orang lain yang mengaku orang tua dari anak, ada rasa gelisah yang muncul, yang tidak menerima hal tersebut.
Era digital mempercepat arus informasi, dan media sosial menjadi salah satu platform terbesar pertukaran informasi. Dengan adanya jutaan pengguna, semua dengan pengetahuan bervariasi, akan sangat mudah bagi pengguna sosial media untuk menemukan kasus-kasus plagiarisme.
Plagiarisme merupakan bentuk pelanggaran etika, yakni suatu norma yang dipakai sebagai pedoman dalam berperilaku, ketika seseorang menggunakan ciptaan orang lain dan misrepresentasi ciptaan tersebut sebagai ciptaannya. Parameter suatu ciptaan dikatakan plagiarisme, adalah ketika suatu pihak ketiga tertipu dengan misrepresentasi tersebut. Tindakan plagiarisme diregulasi dengan masyarakat yang mengapresiasi karya intelektual sebagai suatu hal yang lekat dengan penciptanya, dan hanya ditegaskan ketika pihak ketiga merasa menjadi korban dari misrepresentasi tersebut.
Memang, ada peraturan perundang-undangan yang memuat tentang pelanggaran hak cipta atau copyright infringement (seperti pada UU №28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.) Namun perlu diketahui bahwa tidak semua plagiarisme dapat dijerat dengan pidana. Plagiarisme dapat mengikuti pelanggaran hak cipta, namun dalam beberapa kasus dimana hak cipta tersebut telah habis, maka plagiarisme tetap dapat terjadi, misal dengan karya-karya Shakespeare dan karya-karya lain yang berada di domain publik.
Amati-Tiru-Modifikasi atau ATM merupakan metode dan strategi dalam dunia bisnis dan kreatif. Metode ini dibuat dengan tujuan agar pelaku bisnis dapat kreatif dalam menyediakan sesuatu yang unik dalam persaingan. Terdapat 3 tahapan dalam ATM, yaitu:
Amati — Mengamati dan memperlajari jalan bisnis pesaing
Tiru— Meniru apa yang dilakukan pesaing pada tahap Amati
Modifikasi— Melakukan perubahan pada hal yang ditiru.
Proses ATM ini sebenarnya sudah umum dan sering dilakukan, salah satunya di Industri Game, yang dikenal sebagai clone. Dalam kasus clone, sebuah game yang populer biasanya akan ditiru oleh perusahaan lain yang memiliki kemiripan, baik secara tampilan maupun mekanis, dengan menambahkan atau mengurangi beberapa aspek dari game yang ditiru, untuk memberi pengalaman yang berbeda. Contoh historis adalah konsol Pong, yang memuat game yang sama, Pong dalam berbagai macam iterasi melalui modifikasi perangkat keras maupun perangkat lunak, namun tetap dikategorikan sebagai game aslinya, yaitu Pong. Contoh kontemporer adalah game Flappy Bird, yang menjadi terkenal atas banyaknya clone yang dibuat.
ATM dan Plagiarisme
Lalu apakah perbedaannya dengan plagiarisme?
Dewasa ini, ATM seringkali dijadikan pembelaan dalam tindakan yang dianggap plagiarisme, dan disini garis buram plagiarisme dan ATM. Plagiarisme sebagai hukum etika menjadi subjektif pada masyarakat yang menilainya. Ada beberapa tindakan plagiarisme yang seringkali tidak mendapat perhatian masyarakat (akibat ketidaktahuan tentang sumber ciptaannya) dan ada pula yang dinyatakan plagiarisme meskipun tidak.
ATM, seperti plagiarisme tidak luput dari kesalahpahaman masyarakat. Banyak yang menganggap ATM sebagai suatu justifikasi untuk melakukan plagiarisme, dengan merasa bahwa prosesnya ATM telah dilaksanakan dan menghasilkan suatu ciptaan yang telah bebas dari tanggungan etis (maupun legal) dari plagiarisme.
Prinsip ATM sendiri sebenarnya telah menegaskan penghargaan terhadap hak cipta dengan tidak meniru ciptaan yang dilindungi oleh hukum, dan memperingati pelaku untuk memperhatikan perundang-undangan yang berlaku. Namun, mungkin orang-orang yang menggunakan ATM sebagai justifikasi atas plagiarisme tidak sepenuhnya mempelajari ATM dan sekedar membaca judulnya.
Misinterpretasi terhadap proses ATM juga menimpa orang yang merasa telah melalui proses ATM, merasa telah menghargai hak cipta, namun pada akhirnya tetap melakukan plagiarisme. Kejadian tersebut dapat dikaitkan dengan langkah terakhir proses ATM, yaitu Modifikasi, sebab proses yang dijelaskan pada tahap ini tidak terlalu rinci tentang parameter dari sebuah modifikasi untuk dikatakan ciptaan, hanya mengatakan bahwa modifikasi adalah sebuah hal yang baru, segar, lebih baik, dan sebagainya.
Modifikasi sendiri didefinisikan sebagai suatu perubahan untuk membuat barang asal bekerja lebih baik. Kemungkinan suatu hal dikatakan plagiarisme akan semakin berkurang dengan banyaknya perubahan yang dilakukan terhadap objek yang ditiru. Suatu modifikasi ataupun plagiarisme dapat saja ditanggapi dengan positif bila modifikasi tersebut membawa sesuatu yang sangat bermanfaat dan berbeda dengan ciptaan asli yang ditiru.
Mengambil kasus clone game, walau proses ATM dijustifikasi dengan ketiadaan paten/ pemberian hak cipta terhadap beberapa aspek game seperti mechanic game, hal tersebut tidak menutup kemungkinan masyarakat untuk menganggap hal tersebut sebagai tindak plagiarisme, dengan sebutan sepeti bootleg/bajakan yang secara legal tidak bermasalah, namun memiliki konotasi negatif dengan masyarakat luas.
Dalam kata-kata Mark Twain:
tidak ada ide yang baru, kita hanya menggunakan ide-ide lama dan menempatkannya di kaleidoskop mental, membuat gabungan baru yang tak terhingga, namun pada akhirnya mereka hanyalah ide-ide lama yang telah digunakan selama bertahun-tahun
Sumber dan Bacaan lanjutan: