Siapa yang membunuh mobil nasional Indonesia?

Kilas balik mimpi Indonesia untuk membangun mobil sendiri

Rayhan Finn
Inddium

--

Mobil merupakan artefak penting yang mencerminkan sejarah modern Indonesia. Impian masyarakat Indonesia akan mobil yang dibangun oleh bangsanya sendiri nampaknya akan selalu relevan di konteks perkembangan Indonesia sebagai negara. Amerika memiliki Chrysler, Ford dan General Motors; Jepang memiliki Toyota, Daihatsu, Honda, Mazda, dan Mitsubishi; Inggris memiliki Jaguar, Land Rover, Vauxhall; dan tetangga kita, Malaysia, memiliki Proton dan Perodua. Setelah lebih dari 70 tahun, dimanakah mobil tanah air?

Hindia Belanda dan Jepang

Mobil pertama di Indonesia milik Pakubuwono X. Detik.com/Louwman Museum

Perkembangan otomotif di suatu negara, sangat dipengaruhi oleh keadaan masyarakat negara tersebut, terutama dalam aspek politik dan ekonomi. Mobil mungkin lahir di Jerman, namun besar dan menjadi dewasa di Amerika Serikat. Hal ini disebabkan terciptanya kondisi yang lebih mendukung perkembangan pesar industri mobil di Amerika Serikat, melalui kebijakan publik seperti pembangunan dan perencanaan infrasruktur yang menguatkan minat masyarakat dan industri terhadap mobil.

Indonesia di awal abad ke-20, yang lebih tepatnya bernama Hindia-Belanda, tidak banyak merasakan kegairahan yang dirasakan oleh negara-negara koloni Inggris saat itu, seperti Malaysia yang melihat perkembangan mobil sejak 1926 dengan pembangunan pabrik Ford Malaya di Singapura. Mobil tidak memiliki peran yang penting di Indonesia saat itu, hanya dimiliki oleh beberapa raja dan petinggi Belanda, seperti Pakubuwono X yang membeli Benz Victoria Phaeton. Belanda, tidak seperti Inggris dan Perancis tidak memiliki industri otomotif yang signifikan dan tidak memiliki kebutuhan akan mobil di Indonesia, sehingga tidak membawa mobil-mobil mereka ke tanah air.

Pendudukan Jepang di Indonesia, juga tidak banyak membawa mobil ke Indonesia. Fokus pada usaha perang tidak menuntut Jepang untuk memproduksi mobil-mobil, dan Indonesia sebagai negara kepulauan menyulitkan logistik membawa mobil tersebut. Meskipun demikian, Jepang akan kembali ke tanah air dan kembali “menjajah” Indonesia.

Paska-Kemerdekaan

Buick 8 yang menjadi mobil kepresidenan pertama di Indonesia, digunakan oleh Soekarno. Momoclassic

Menuju kemerdekaan, mobil perlahan menjadi saksi banyak peristiwa sejarah Indonesia, seperti Peristiwa Rengasdengklok, Proklamasi, dan lain-lain. Mobil yang ada di era orde lama mayoritas merupakan mobil asal Amerika. Soekarno sendiri menjadikan mobil-mobil Chrysler, Buick, Cadillac, dan Lincoln sebagai mobil dinasnya. Walaupun mobil asal Amerika sangat diminati oleh Soekarno, perjalanan orde lama yang perlahan condong menuju dunia ke-2 membuat pemerintah berminat pada mobil-mobil Soviet, seperti ZIL. Mungkin saja bila minat ini diteruskan, jalanan Indonesia dipenuhi oleh mobil-mobil Lada dan GAZ.

Lahirnya Orde Baru dan pemerintahan Soeharto membatalkan rencana tersebut, dengan kebijakan yang cenderung menjauh dari negara-negara Blok Timur. Sejak tahun 1969, Rencana Nasional untuk Pengembangan Industri ditujukan untuk menggantikan impor di semua bidang manufaktur, termasuk industri mobil. Pada tahun 1974, Indonesia melarang impor mobil utuh atau Complete-Built-Unit (CBU) dan menuntut adanya proses manufaktur mobil secara lokal. Soeharto saat itu mungkin tidak sadar, namun kebijakan-kebijakan yang ia buat di orde baru akan menjadi salah satu pengaruh terbesar membentuk masa depan mobil di Indonesia.

Lihat Kijang lincah berlari

Toyota Kijang KF10 “kijang buaya” yang dikemudikan Presiden Soeharto. Kaskus

Bentuk mobil di masing-masing negara di dunia sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang meregulasi Industrinya. Chicken Tax di Amerika melarang impor mobil pick-up kelas Light Duty sehingga mobil yang mendominasi segmen tersebut merupakan mobil-mobil Amerika seperti Ford, Dodge dan Chevrolet.

Salah satu kebijakan yang unik oleh Orde Baru merupakan keringanan pajak terhadap Minibus yang tidak diberikan kepada mobil-mobil sedan, melalui K Menteri Perindustrian №168/M/SK/9/79. Produsen sedan yang mayoritas berasal dari eropa tentu merasa sulit, dan minibus saat itu justru mayoritas diproduksi oleh Jepang. Mungkin, minat mobil keluarga yang berbentuk minibus bermula dari kebijakan ini, dimana sisa dunia memandang sedan seperti Ford Cortina sebagai mobil keluarga.

Kebijakan Orde-Baru yang menuntut adanya produksi secara lokal akan melahirkan salah satu mobil paling ikonik di Indonesia: Toyota Kijang. Singkatan untuk Kerjasama Indonesia JepANG, Kijang merupakan salah satu upaya paling awal Indonesia dalam membangun mobil nasional, baik secara sadar atau tidak. Walau masih menggunakan merek Toyota yang berasal dari Jepang, mobil ini sepenuhnya dikembangkan dan diproduksi di tanah air, dan praktik ini tidak jarang dilakukan, sebab sumber daya yang dibutuhkan untuk membuat mobil dari awal sangat besar, sehingga beberapa negara memilih kerjasama ketimbang membuat mobil dari nol.

Kijang Super (F40 dan F50) menjadi ikon setelah dipasarkan sebagai mobil keluarga Indonesia. Iklan Jadul Indonesia

Toyota Astra Motor meluncurkan Kijang generasi pertama (model KF10) di Pekan Raya Jakarta pada tahun 1975, dan Kijang menjadi sebuah ikon akan perkembangan ekonomi yang signifikan setelah ketidakstabilan ekonomi di era Orde Lama. Hal ini, beserta kebijakan larangan impor terhadap mobil utuh membuat Kijang laku keras, berawal dari mobil niaga hingga menjadi mobil keluarga ketika memasuki generasi ke-3. Kesuksesan Kijang begitu dahsyatnya, dan menjadi tanda perkembangan ekonomi, pembangunan, dan kesejahteraan pemerintah orde baru, hingga Toyota menjulukinya sebagai “Perintis Era Motorisasi Baru” di Indonesia. Manufaktur lain bergegas untuk dapat mengikuti kesuksesan Kijang, terutama dalam penamaan hewan, seperti Mitsubishi Kuda, Daihatsu Zebra, hingga Isuzu Panther.

Nampaknya, Kijang tak hanya sukses merubah muka pasar Industri Mobil di Indonesia, namun juga menimbulkan keinginan akan mobil sendiri. Mobil yang dirancang dan dibangun di Indonesia namun memiliki merek dari Jepang tidak cukup; Masyarakat Indonesia ingin mobil yang dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri.

Maleo, Timor dan Krisis Moneter

Sketsa konsep Beta 97. Shado

Kijang telah sukses merevolusi industri mobil Indonesia, namun Kijang tetaplah sebuah Toyota, dan nampaknya pemerintah melihat kesuksesan Proton di Malaysia yang menjadi mobil nasional pertama di Asia Tenggara, sehingga Indonesia tidak ingin kalah.

Keinginan ini melahirkan beberapa mobil, diantaranya Beta 97, Maleo, Bimantara dan Timor.

Beta 97, MPV buatan Bakrie Brothers. AutoNet Magz

Beta 97 adalah mobil kelas MPV (Multi Purpose Vehicle) yang diusung oleh Aburizal Bakrie melalui Bakrie Brothers. Mobil ini di desain oleh firma desain Shado asal inggris, dengan 1 buah prototipe yang berjalan di tahun 1997, namun gagal meluncur akibat krisis moneter 1998.

Prototipe Mobil Maleo buatan Habibie. Okeotomotif/Ist

Maleo merupakan mobil yang diprakarsai oleh BJ Habibie saat beliau menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi pada tahun 1996. Dengan harga 30 juta, Maleo ditargetkan menjadi City car untuk Indonesia, dibangun dari Rover Metro asal Inggris dengan mesin 4 tak dan suspensi hidropneumatik. Bila sukses, Maleo dengan harga yang terjangkau bisa saja menjadai Mini, Volkswagen Beetle, atau Fiat 500. Sayangnya, mobil ini tidak dilanjutkan meskipun memiliki 1 unit prototipe akibat krisis ekonomi dan pengalihan pendanaan ke proyek mobil nasional lain: Tommy Soeharto dan Timor.

Peluncuran mobil Timor tahun 1996. Cintamobil

Timor (singkatan dari Teknologi Industri Mobil Rakyat) merupakan perusahaan yang dimiliki Tommy Soeharto yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai pionir mobil nasional, melalui Inpres № 2 tahun 1996. Menariknya, Timor pada saat itu memiliki saham yang besar di perusahaan Italia yang bernama Lamborghini, sebelum akhirnya dijual unuk meluncurkan Timor S515/S516. Timor awalnya sangat ambisius, bekerja sama dengan firma desain Zagato, namun biaya tinggi memaksa Timor untuk mengimpor mobil secara utuh dari perusahaan Korea bernama KIA Motors, tepatnya KIA Sephia. Hal ini tentu menimbulkan kontroversi, karena harapan masyarakat akan mobil yang dibangun sendiri justru hanya mobil hasil re-badge, dan perusahaan industri mobil dari Eropa dan Amerika Serikat menuntut WTO untuk mencabut hak istimewa Kia dan Timor, yang dinilai tidak adil sebab merek lain tidak dapat mengimpor mobil secara utuh.

Timor yang dinilai bersalah oleh WTO kemudian menghentikan produksi mobilnya pada tahun 1997. Tidak lama kemudian, Krisis Moneter menimpa Indonesia, melengserkan Soeharto dan menghanyutkan mimpi mobil nasional oleh Timor.

Esemka, Tawon, Tucuxi dan Esemka lagi

Mobil Esemka yang terkenal setelah dijadikan mobil dinas Jokowi saat menjabat walikota Solo. Detikcom/Rachman Haryanto

Setelah Reformasi, Indonesia yang masih belum pulih dari Krisis Moneter 1998 membuat proyek mobil nasional terbengkalai. Keadaan yang tidak stabil dan tidak menentu membuat rakyat tidak terlalu minat terhadap mobil nasional, terlebih ketika Timor gagal untuk memenuhi harapan masyarakat. Lagipula, untuk apa mobil nasional ketika Indonesia masih memiliki Kijang?

Mobil Tawon bertenaga CNG. Asia Nusa

Perlahan, perekonomian Indonesia membaik, dan upaya-upaya baru untuk melahirkan mobil nasional mulai bermunculan. Sayangnya mayoritas upaya tersebut sekedar prototipe dan tidak berhasil diproduksi, seperti halnya dengan Gang Car, Marlip, Arina, GEA, dan Kancil. Beberapa mobil dikembangkan lebih jauh, seperti Tawon yang mengusung mobil dengan tenaga CNG namun tidak terlalu diminati dan berhenti produksi di tahun 2017.

Tucuxi yang hancur saat diuji oleh menteri Dahlan Iskan. ANTARA/Fikri Yusuf

Berbagai mobil listrik diusung, namun sama nasibnya dengan mobil lain, tidak banyak berhasil. Mobil-mobil seperti Mobil Listrik Ahmadi, Mobil Lisrik Selo buatan Ricky Elson, Tucuxi buatan Danet Suryatama, dan Mobnas Tenaga Lisrik yang dibuat oleh 6 universitas namun semuanya tidak berhasil diproduksi secara massal.

Esemka merupakan upaya yang masih berjalan hingga penulisan artikel ini. Berawal dari mesin rancangan SMK Indonesia yang merancang dan memproduksi komponen mesin mobil 1500 cc pada tahun 2007. Beberapa model dibuat , seperti Rajawali, Rajawali R2, dan Digdaya, namun Esemka baru mulai terkenal pada tahun 2012, ketika Jokowi yang menjabat sebagai wali kota Solo pada saat itu menggunakan mobil Esemka sebagai mobil dinasnya. Saa titu, masa depan Esemka nampak cerah, namun banyak fakta dari Esemka tidak diberitakan, seperti kegagalan uji emisi Esemka, kekurangan surat dan berbagai kendala lainnya membuat karir Esemka sebagai mobil dinas terbatas dengan dua hari saja.

Jokowi saat meresmikan pabrik Esemka yang dikelola PT Solo Manufaktur Kreasi. Biro Pers Sekretariat Presiden

Jokowi yang menjadi gubernur DKI Jakarta dan kemudian Presiden Republik Indonesia tentu tidak melupakan Esemka, dan Esemka menjadi salah satu fokus kepresidenan Jokowi, bahkan dinilai sebagai janji politik. Setelah pilpres 2019, Jokowi pun meluncurkan pabrik Esemka dengan Esemka Bima sebagai model pertama, berbentuk pick-up yang dirakit oleh berbagai SMK yand ada di Malang, Solo, dan Surabaya. Sama halnya dengan Timor, Esemka dipenuhi oleh kontroversi, dengan klaim bahwa Esemka aslinya hasil re-badge dari mobil Tiongkok, pabrik yang tidak beroperasi, dan keberadaan Esemka Bima sendiri yang tidak terlihat di publik (yang banyak dijadikan lelucon oleh warga sebagai mobil ghaib). Banyak keraguan yang muncul dengan Esemka, dan nampaknya Esemka bernasib sama dengan Timor, dihadapkan dengan ketidakentuan pandemi Covid-19. Hanya waktu yang akan mengungkapkan nasib dari Esemka.

Kebutuhan dan Keinginan Belaka

Sebenarnya, apakah Indonesia benar-benar membutuhkan mobil nasional? Melihat kegagalan Timor dan kesuksesan Kijang, apakah mobil buatan bangsa sendiri sungguh sebuah hal yang harus diperjuangkan oleh Indonesia?

Platform bersama semakin populer di Industri otomotif, dengan prinsip satu untuk semua untuk menghemat biaya pengembangan dan produksi mobil. Toyota Mobility

Beberapa orang berargumen bahwa mobil nasional adalah simbol kemandirian Indonesia dari globalisme dan neokolonialisme yang semakin tumbuh di dunia. Akan tetapi, Transformasi industri mobil dunia juga membuat mobil nasional sebagai suatu konsep yang semakin sulit dilakukan dan kolaborasi adalah masa depan industri mobil. Praktik-praktik seperti platform bersama (platform sharing), yakni penggunaan platform mobil untuk banyak model mobil semakin populer untuk menekan biaya produksi di industri dengan margin keuntungan yang sangat tipis. Kebijakan protektorat seperti pembatasan impor yang dilakukan pemerintah orde baru juga tidak mungkin dilakukan di era sekarang. Pendorongan mobil nasional terlihat sebagai suatu hal yang tidak hanya musahil, namun juga tidak masuk akal. Proton pun yang seringkali dijadikan acuan dalam Industri mobil akhirnya dijual ke Geely pada tahun 2017 selama bertahun-tahun mengalami kemunduran dan kesulitan untuk bersaing dengan mobil-mobil merek luar negeri.

Salah satu ciri khas LCGC adalah penggunaan emblem dan logo buatan lokal, seperti pada Toyota Calya dan Daihatsu Sigra. Rajamobil

Program LCGC (Low Cost Green Car) merupakan bentuk kompromi mobil nasional yang didorong oleh pemerintah, dengan kewajiban komponen lokal sebesar 80% dalam 5 tahun. LCGC dibuat dengan niat “memaksa” bertumbuhnya industri lokal. Walau LCGC masih menggunakan merek-merek besar seperti Toyota, Suzuki dan Honda, merek yang ada pada mobil diganti dengan mobil merek lokal, seperti pada Ayla, Sigra, Brio dan Karimun (suatu upaya yang berhasil dengan Maruti di India). Sesaat, LCGC menjadi sangat populer, dengan harga yang terjangkau, LCGC seakan-akan menggantikan Kijang yang telah “naik pangkat” menjadi mobil mewah. Penjualan yang tinggi dan terus meningkat membuat masa depan LCGC cerah, namun pada tahun 2019, peningkatan tersebut terhenti dan mulai menyusut. LCGC semakin diragukan baik oleh masyarakat yang memandangnya sebagai mobil kualitas rendah, maupun manufakur yang merasa semakin pesimis dengan tujuan LCGC yang tidak dapat dikejar oleh kemampuan industri Indonesia.

Apakah mimpi mobil nasional akan sirna di tengah ketidaktentuan ini? Mungkin memang saatnya untuk move-on ke hal-hal yang lebih menjanjikan. Industri sepeda motor nasional yang relatif lebih sukses justru jarang menjadi fokus pemerintah maupun masyarakat, ketika jumlah sepeda motor di Indonesia jauh lebih banyak. Transisi dunia dari mesin bakar ke mesin lisrik juga membuka peluang bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan industri yang masih baru dan tidak banyak kendala; hal yang dibuktikan relatif mudah oleh Viar yang mampu memproduksi motor lisrik di tahun 2018.

Mobil nasional telah menjadi simbol dari perjalanan Indonesia sendiri, mulai dengan keberhasilan Kijang yang menandakan kemakmuran dan perkembangan pesat di Orde Baru, Maleo yang gagal meluncur dan Timor yang terhenti akibat krisis moneter, hingga Esemka dan LCGC yang menunjukkan betapa berbedanya Indonesia di abad ke-21. Apakah bab selanjutnya dalam kisah mobil nasional Indonesia? Hanya waktu yang dapat menjawab.

--

--

Rayhan Finn
Inddium
Writer for

Product Design Student from Indonesia — eternally stuck between knowing too little and wanting to learn more